Semarang, Jateng 1990.
Hari itu para petinggi JAI, diantaranya Abdul
Hayye HP Sy- selaku Aditional Rais ut tabligh,
mewakili HMA Cheema HA Sy yang sedang cuti, Ir Pipip Sumantri- Sekjen PB
JAI, Gunawan Jayaprawira- Isyaat PB, Syafiie R Batuah- Pemred Sinar Islam, dan
Mln Muhyidin Syah Sy- Mubaligh Jateng DIY, berkumpul di Gedung Olahraga Simpang
Lima Semarang-Jateng.
Mereka bukan ingin menonton even Olahrnaga. Tapi, hari itu , para
Pejabat JAI menyelenggarakan Konferesi
Pers dalam rangka Penutupan Perayaan Seabad Jemaat Ahmadiyah International-
yang berlangsung sepanjang tahun 1989.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Baharudin Muhtar dari PPMA, dan N.Kukuh S dari Isyaat PPMKAI, tengah membagikan bantuan sembako serta busana layak pakai- kepada korban Banjir Besar Semarang- yang merenggut sejumlah korban jiwa, serta meluluh lantakkan infrastruktur Ibukota Jawatengah itu.
Memukau Para Wartawan
Balai wartawan
yang menempati teras depan sisi selatan dari Bangunan Gedung Olahraga Semarang
, menjadi tempat dipajangnya deretan Al
Qur’an terjemahan 100 Bahasa Dunia- karya Jemaat Amadiyah International.
Beberapa Buku terbitan JAI juga ikut dipajang, seperti Nabi Isa dari Palestina
ke Kasmir, Filsafat Ajaran Islam dan Buku Putih.
Para Wartawan
dari berbagai Media Nasional mulai berdatangan sejak pagi, memasuki Balai Wartawan Semarang -yang di boking Panitia
dari JAI. Para Khudam dan Anshar serta aktivis JAI Semarang, yang
dikoordinir Anwar Said SE- bertindak
sebagai tuan rumah, berjejer dengan pakaian yang cukup rapi.
Setelah expose
dan paparan serta Pers Release yang dibawakan oleh para Petinggi JAI, seperti
biasa dibuka sesi tanya jawab. Karena yang hadir adalah mayoritas para wartawan
Media Nasional seperti ;Tempo, Kompas, Kedaulatan Rakyat, Sura Merdeka, TVRI
dll, tentu saja pertanyaaan yang disampaikan kepada para Pejabat JAI cukup
berbobot dan kritis.
Beberapa
pertanyaan telah dijawab oleh para pejabat JAI dari Pusat. Namun ada seorang
wartawan yang mengenakan blangkon, tutup kepala khas Yogya-Solo, yang mengaku
dari media Nasional yang cukup elite, dengan nada agak sinis- mengajukan pertanyaan
bernuansa meremehkan Ahmadiyah. Dengan bahasa tubuh yang juga terlihat congkak,
si Wartawan Blangkon bertanya begini; “Jika Memang Ahmadiyah adalah Islam Yang
Benar, apa buktinya? Apa Prestasinya?. Katanya
saat ini sudah Seratus Tahun Ahmadiyah berdiri?
Lha Ini, di Semarang saja masih terjadi Banjir Bandang yang
menyengsarakan umat manusia?! “ Ujarnya ber api-api. Padahal, dulu, hanya dalam
23 tahun , Nabi Muhammad telah mampu menghantarkan Umat Islam kemasa
Kejayaannya!, tambah siBlangkon membandingkan.
Para hadirin
terlihat ikut terbawa suasana tegang mendengar pertanyaan sang Wartawan
Blangkon. Maklum, dimasa itu pendapat- pendapat Kritis masih dianggap tabu,
apalagi yang bisa dinggap berbau SARA meremehkan Agama Kepercayaan orang lain.
Dijaman Orde Baru, sikap kritis ditengah masyarakat memang nyaris
terbungkam. Yang anehnya, pertanyaan
kritis itu justru muncul saat Ahmadiyah menjamu dengan ramah dan cukup mewah
kepada para wartawan.
Team Pejabat JAI
yang duduk dimeja depan, segera berunding untuk menentukan-siapa diatara mereka
yang akan menjawab pertanyaan Kritis wartawan itu. Akhirnya Mln Muhyidin Syah
SY- Mubaligh Jateng-DIY, dipercaya untuk
menjawab pertanyaan tajam sang wartawan.
Mubaligh
Kelahiran Padang, yang lama menimba Ilmu di Rabwah Pakistan itu , dengan sikap
tenang- dan senyum menghias dibibir,
tampil dengan gaya bahasa yang menyejukkan. Begini kurang lebih
rangkaian jawabanya; “Bapak Ibu, Hadirin sekalian, serta rekan-rekan Wartawan
yang sangat kami muliakan, terlebih dahulu saya sampaikan Asalamualaikum
wr.wrb.” Salam dari Pak Muhyidin ini sejenak mampu membuat suasana di ruang
Balai Wartawan Semarang hening! Entah apa sebabnya, yang jelas intonasi dan
bahasa tubuh Mubaligh Wilayah Jateng –DIY itu
sangat impresip- dan menohok nurani
Sang Wartawan Penanya bernada sinis
tadi. Itu nampak dari raut wajah Sang Blangkon yang mulai tenang.
Mln Muhyidin
melanjutkan, Jika membandingkan Nabi Muhammad dengan Pendiri Ahmadiyah Hz Mirza
Ghulam Ahmad, tentu tidaklah adil. Apalagi kalau bicara Prestasi. Karena
Pendiri Ahmadiyah mengatakan dalam bukunya, bahwa dirinya hanyalah “Debu di
sepatu- alas kaki Rasululluah saw.” Jika tetap mau membandingkap dengan
prestasi para Nabi lain, maka bandingkanlah dengan Nabi yang sama sama tidak
membawa Syariat.
Coba kita lihat
Nabi Isa as yang tidak membawa syariat, dan hanya melanjutkan Syariat Nabi Musa
as. Sementara Mirza Ghulam Ahmad - juga hanya melanjutkan Syariat Nabi Muhammad
saw. Sejarah mencatat, dalam perjalanannya, para pengikut Nabi Isa, sekitar 300
tahun sepeninggal Yesus, masih hidup di Gua-Gua – yang kita kenal dalam kisah
ashabul Kahfi.
Tapi coba bandingkan
dengan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, pengikut Nabi Muhammad saw. ini, baru
seratus tahun telah mampu menyebarkan
Islam ke lebih 125 Negara di dunia. Dan yang paling nyata, coba lihat- dihadapan para wartawan sekalian yang kami
muliakan sekarang ini, telah berjejer Sejumlah Al Qur;an terjemahan dalam
seratus Bahasa Dunia, yang kami dedikasikan buat menerangi umat manusia
sedunia. Hal ini belum pernah dilakukan oleh lembaga Islam Dunia manapun,
termasik OKI, yang katanya mewakili Islam sedunia itu. Apa lagi Kelompok atau
Lembaga Islam Lokal, belum pernah ada mereka membuat program semacam itu.
Mendengar jawaban Pak Muhyidin, sang Wartawan
Kritis itu langsung nampak terkesima, dan dengan takzim kembali minta izin
untuk berbicara, sambil memohon agar Ahmadiyah bisa berperan aktip, khususnya di Jawatengah
untuk menanggulangi berbagai bencana dan keterbelakangan pengetahuan
masyarakatnya. Yang hebatnya, saat menyampaikan permohonan itu Sang Wartawan
Menyapa Pak Muhyidin dengan penghormatan yang sangat tinggi-Layaknya Orang
Jawatengah memanggil Para Wali Songo- dengan menambahkan gelar “Syeih Maulana
didepan nama Muhyidin Syah Sy. (Kukuh/smg1990)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar