Man Of God Karya Iain Adamson:
”APAKAH TUHAN ADA?”
Adalah hal yang
terpuji dalam Islam untuk membaca seluruh AlQuran luar kepala . Banyak orang
yang memulai melakukanya tetapi hanya sedikit yang berhasil menghapalnya karena
AlQuran terdiri atas 114 bab dan 6666 ayat . Jadi hal itu adalah tugas berat.
Banyak orang muslim sekarang memandang hanya menghapal AlQuran tidaklah cukup .
Yang penting adalah memahami wahyu Ilahi .
Tahir diperitahkan menghapal
AlQuran, tetapi sejak awal tampak jelas bahwa tugas itu adalah
tugas yang takkan pernah diselesaikannya. Yang lebih menarik bagi Tahir adalah
maksud kata-kata dalam AlQuran. Ia mananyai guru-gurunya, kakak-kakaknya, Ia
juga menanyai Khalifah. Ia tertarik mepelajari AlQuran dengan tekun. Ini
adalah disiplin yang dipertahankannya
selama hidupnya.
Setiap hari ia belajar sebagian
AlQuran. Ia juga mepelajari ajaran- ajaran Muhammad yang termasuk dalam daftar
hadist serta sunnah Rasululah.Tentunya ia juga sembahyang lima kali sehari dan secara pribadi didalam
kamarnya diam-diam sebagaimana diajarkan oleh Islam. Doa merupakan bagian
terpenting dalam kehidupan anak-anak
khlifah.
Suatu ketika, saat kembali dengan
keluarga ke Qadain, Khalifah menemukan
bahwa bahan bakar mobil menunjukan angka nol. Mereka lupa mengisi tanki, saat
itu mereka sudah setengah jalan pulang dan tidak ada pompa bensin sampai mereka
mencapai Qadian “Doakan agar kita sampai
di Qadian“, kata Khalifah. “kalau kita
sampai saya akan menghadiahkan kepada yang doanya terkabul dua gallon bensin
dan mereka boleh memakai mobil”.
Mungkin hal itu diucapkan sebagai
lelucon setengah serius sehingga saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara
perempuan beliau tidak melakukan apa-apa. Tetapi ketika mereka hampir sampai
diQadian dan Tahir berseru “Saya sudah berdoa”. Saya sudah berdoa sejak ayah
minta”.
Khalifah memenuhi janji beliau dan
Tahir memakai mobil serta dua galon
bensin untuk pergi piknik.
Namun ketika ia berusia 14 tahun mulai ada keraguan
yang memasuki dirinya. Pada saat itu meskipun ia tertarik pada
pelajaran-pelajaran sains, ia masih menjadi juru kunci dalam hampir semua
pelajarannya, termasuk sains. Namun ia mulai melakukan eksperimen-eksperimen
sains secara pribadi yang sama sekali tidak berhubungan dengan kurikulum
sekolah.
Ia juga sudah menemukan perpustakaan
ayahnya. Didalamnya ada buku-buku yang membahas Teori Evolusi Darwin, berbagai
buku pegangan biologi, dan tulisan-tulisan karya Freud. “Saya belum cukup umur
untuk memahami buku-buku itu sepenuhnya, tapi mereka memberikan pengaruh umum,
semacam pengaruh samar-samar terhadap pikiran saya. Saya mulai bertanya-tanya :
Apakah Tuhan ada ?”
Ia sering jatuh tertidur dengan
sebuah buku ditangannya mungkin membaca yang terus menerus inilah yang
menimbulkan sakit kepala yang sekarang mulai dideritanya.
Tetapi yang mengganggunya, beliau
mengenang, adalah kenyataan bahwa Islam didirikan atas dasar keimanan pada
Tuhan. Jika tidak mempunyai dasar maka agama hanyalah merupakan diskusi
akademik dan latihan mental – tak lebih. Nilai-nilai perbandingan hanya dapat
menjadi nilai-nilai perbandingan.
“Itulah masalah pertama yang saya
hadapi pada tahapan hidup itu, dan kesadaran bahwa saya sebenarnya
mempertanyakan keberadaan Tuhan mengguncang saya. Dalam satu segi saya kira
saya takut”.
“Saya ingin yakin. Dan saya tidak
bisa yakin hanya dengan membaca buku-buku. Saya menginginkan cara langsung.”
Ia mulai menyelidiki
kemungkinan-kemungkinan adanya Tuhan atas dasar logika. “Saya pikir saya
seorang yang logis secara bawaan – hal itu terbentuk dalam diri saya – jadi
saya menelaah masalah kemungkinan *** dari adanya Tuhan. Ketika mempelajari itu
saya mulai menyadari bahwa pada tahapan-tahapan kesadaran yang berbeda ada gap – sama seperti adanya gap
antara kesadaran makhluk yang lebih rendah dan kesadaran manusia.
“Secara sederhana, manusia sadar
akan keberadaan, misalnya, semut, tetapi semut tidak sadar keberadaan manusia.
Jadi jika ada jarak antara semut dan manusia maka tentu saja ada jarak yang
lebih besar antara manusia dan Tuhan. Jadi saya memecahkan permasalahan pertama
saya melalui kerendahan diri.”
Setelah Tahir menyadari
keterbatasannya ia beralih pada doa langsung. ”Saat itu merupakan masa paling
berat dalam hidup saya dan saya menderita. Untuk mempercayai sesuatu dan
mendasarkan seluruh falsafah hidup kita pada sesuatu itu, yang sangat jauh
sepanjang hal itu berkaitan dengan keberadaan yang terlihat – merupakan
tantangan yang mencemplungkan saya dalam kepedihan. Saya menderita sangat
dalam”.
“Saya yakin bahwa secara teoritis Tuhan dapat ada. Tetapi
apakah Dia masih ada ? Dan seandainya dia ada, maukah Dia memperlihatkan
diriNya pada saya ?”
Kadang-kadang ia datang ke Mesjid
dan sembahyang berjam-jam sendirian. Kadang-kadang dikamarnya ia sendirian
sepanjang malam.
“Saya berdoa pada Tuhan : ‘Jika
engkau ada, maka saya sedang mencarimu. Beritahu saya bahwa engkau ada atau
saya akan tersesat dan dan tak dianggap bertanggung jawab. Mungkin saya
bertanggung jawab, doa saya, tapi saya kira saya tak seharusnya dianggap
bertanggung jawab.”
Kemudian, suatu sore, ia mengalami
suatu peristiwa yang memberi pemecahan baginya untuk selamanya mengenai masalah
keberadaan Tuhan. Pengalaman itu, katanya, tidak dapat dipandang secara
obyektif sebagai bukti kuat keberadaan Tuhan, tetapi ia yakin bahwa hal itu
merupakan jawaban Tuhan.
“Saya dalam keadaan setengah sadar-
antara sebuah mimpi dan alam nyata.Saya melihat seluruh bumi mengumpul menjadi
satu bola. Tidak ada ciptaan dalam bentuk apapun terlihat- tidak ada kehidupan,
tidak ada kota-kota, tak sesuatupun-
hanya bumi. Kemudian saya melihat partikel-partikel bumi bergetar dan
pecah membentuk slogan: TUHAN KAMI! Setiap partikel menyatakan sebab keberadaannya.
Seluruh dunia dibanjiri cahaya aneh
dan setiap atom bumi mulai mengalun dan berkontraksi dalam irama. Saya
menemukan diri saya mengulangi kata-kata: TUHAN KAMI!.”
Ketika kembali ke kesadaran penuh ia
masih dapat melihat kejadian itu. Setelah itu ia tidak pernah punya keraguan
lagi.
Pada bulan Mei 1990 seorang ahli
fisika ruang angkasa menguraikan idenya tentang bagaimana bumi bermula yang
anehnya sangat mirip dengan pengalaman Tahir. (Sekitar
48 tahun sebelumnya- saat usia Tahir 14 tahun: a.hafaseham.)
Ia tidak percaya bahwa setiap orang
akan mengalami peristiwa ghaib yang sama
untuk membuktikan keberadaan Tuhan. “Tuhan memperlihatkan dirinya kepada setiap
orang sesuai dengan kemampuan mereka
untuk melihatnya. Tuhan bersifat universal dan batas-batas kelemahan manusialah yang menentukan
bagaimana pengalaman manusia itu dengan
Tuhan.”
Jauh dikemudian hari ketika beliau
menjadi Khalifah, beliau berkata: “Selain dalam sembahyang-sembahyang yang
biasa, AlQur’an menganjurkan orang-orang yang beriman untuk mengingat Tuhan
siang dan malam dan mengingat Dia dalam pengalaman-pengalaman mereka
sehari-hari, penderitaan mereka, atau ketidak
-bahagian mereka. Saat itulah yang paling memberi hasil kepada saya
karena saya belajar berdoa pada saat-saat bahagia dan kesadaran emosional saya
tentang perubahan.
“Ayah saya-lah alat yang meletakan
saya ke jalan itu. Meskipun beliau adalah Ketua Jemaat dan beliau merupakan
orang yang didatangi orang dengan permohonan doa, pada masa-masa sukar beliau
akan meminta anak-anak beliau untuk berdoa, mendoakan bantuan untuk beliau atau
mendoakan bantuan bagi Jemaat.”
Tahir kemudian mengalami pengalaman
lebih lanjut tentang keberadaan Tuhan melalui kenyataan bahwa sekarang Tuhan
mengabulkan doa-doanya.
“Bahkan sebagai anak-anak saya biasa
berdoa dan melihat doa-doa saya dikabulkan. Dulu saya memandang kemungkinan itu
sebagai fenomena psikologis, tetapi setelah bukti keberadaan Tuhan
diperlihatakan kepada saya, peristiwa-peristiwa terkabulnya doa-doa saya
menjadi lebih jelas sehingga mustahil tak terlihat. Hal-hal yang bersifat
kebetulan tak berperan dalam pengabulan ini. Bukti pendukung ini terus berkembang
menjadi lebih kuat sepanjang hidup saya dan akhirnya saya menerima wahyu
langsung dari Tuhan.” ( Sumber Man Of God)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar